Dari layar ke meja makan

Dari Layar ke Meja Makan: 
Ketika Digital dan Nyata Bersinggungan 

Makanan era digital

Ada ironi dalam fenomena ini: meski foto makanan dibagikan secara digital, tujuannya sering kali adalah untuk merasakan koneksi yang nyata. Seseorang mungkin mengirim foto sarapan ke pasangan jarak jauh sebagai bentuk kedekatan, atau mengunggah makan malam mewah untuk berbagi kebahagiaan dengan followers. Namun, kecanduan terhadap validasi digital juga bisa mengganggu momen makan yang seharusnya intim. Alih-alih menikmati rasa, kita sibuk mencari angle terbaik untuk diunggah. Alih-alih berbincang dengan teman di meja makan, mata kita tertuju pada notifikasi yang masuk. 

Tekanan sosial di balik foto makanan yang sempurna tidak semua orang nyaman membagikan foto makanan. Bagi sebagian orang, tekanan untuk menampilkan hidangan yang estetik atau tren terkini bisa memicu kecemasan. Apalagi jika foto tersebut mendapat respons yang minimal misalnya, hanya satu atau dua like. Ini bisa menimbulkan pertanyaan: "Apakah makananku tidak cukup menarik?" Di sisi lain, tombol Balas juga bisa menjadi alat untuk mendukung. Sebuah komentar seperti, "Kreatif banget plating-nya!" atau "Aku suka warnanya!" bisa memberi dorongan moral. Dalam hal ini, interaksi digital sekitar makanan bisa menjadi sumber inspirasi atau motivasi untuk mencoba hal baru di dapur. 

Mungkin pelajaran yang bisa diambil adalah: saat kita mengunggah foto makanan atau menekan tombol Balas, kita sedang menciptakan narasi. Narasi tentang siapa kita, apa yang kita sukai, dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu, lain kali ketika Anda melihat foto makanan di layar ponsel, coba tanyakan: Apa cerita di balik hidangan ini? Dan ketika Anda menekan Balas, pilihlah kata-kata yang tidak hanya merespons gambar, tetapi juga menghargai upaya dan emosi di baliknya.